Archives

♣ Membuka Jilbab Di Depan Ahli Kitab/Suami Isteri Apakah Termasuk Mahram?


MEMBUKA JILBAB DI DEPAN AHLI KITAB
Pertanyaan
Apakah seorang muslimah boleh membuka jilbabnya di depan wanita ahli kitab? Apakah benar terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama?
Jawaban.
Seorang wanita muslimah tidak boleh membuka jilbab di hadapan perempuan ahli kitab. Karena di dalam Al-Qur`an, ahli kitab tidak termasuk orang-orang yang dikecualikan bagi muslimah untuk membuka jilbabnya. Yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita mereka (Islam), atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. [an-Nûr/24:31].

Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata: “‘Atau wanita-wanita mereka,’ yakni wanita-wanita Islam, termasuk budak-budak wanita yang beriman. Tidak termasuk dari hal itu, yakni wanita-wanita musyrik dari ahli dzimah dan lainnya. Maka tidak halal bagi wanita beriman menampakkan sesuatu dari badannya di depan wanita musyrik, kecuali jika dia merupakan budak wanitanya”.

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu berkata: “Seorang wanita muslimah tidak halal dilihat oleh wanita Yahudi atau wanita Nashrani, supaya ia tidak menceritakan kepada suaminya. Dan dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jika wanita kafir itu merupakan budak wanita Islam, maka dia boleh melihat tuannya. Adapun selain budaknya, maka tidak, karena terputus kecintaan antara orang Islam dengan orang kafir, dan karena apa yang kami sebutkan, wallâhu a’lam”. [1]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Tafsir al-Qurthubi secara ringkas
SUAMI ISTERI APAKAH TERMASUK MAHRAM?

Pertanyaan
Ana ingin bertanya, apa definisi muhrim? Apakah suami isteri itu muhrim? Apakah bersentuhan antara suami isteri membatalkam wudhu? Mohon jawaban disertai haditsnya. Syukran. 0858552xxxxZ

Jawaban.
Pertanyaan Anda perlu diperjelas maksudnya. Muhrim dalam istilah syari’at adalah orang yang menunaikan ihram haji atau umrah.

Tampaknya maksud pertanyaan Anda adalah mahram bukan muhrim. Bila mahram, maka pengertiannya adalah orang-orang yang diharamkan dinikahi oleh seorang laki-laki. Mereka ini ialah orang-orang, sebagaimana yang telah disampaikan Allah dalam firmanNya, surat an Nisaa`/4 ayat 22-24 :

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۚ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapanNya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Dengan demikian, maka suami tidak termasuk yang diharamkan menikahinya dalam pengertian ini.

Kemudian tentang hukum suami-isteri bersentuhan apakah membatalkan wudhu?

Tentang masalah ini, yang rajih (kuat) adalah pendapat yang menyatakan, tidak batalnya wudhu` seseorang disebabkan bersentuhan dengan wanita atau lelaki yang bukan mahram. Demikian ini pendapat madzhab Abu Hanifah, dan dirajihkan Ibnu Taimiyah, Ibnu ‘Utsaimin [1] dan Musthafa al ‘Adawi, [2] dengan dasar tafsir Ibnu ‘Abbas terhadap firman Allah dalam surat al Maidah ayat 6 :

أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ

[pengertiannya adalah jima’ (berhubungan suami istri)]. Hal ini dikuatkan dengan hadits berikut ini :

1. Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, beliau berkata :

فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُولُ اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

Aku kehilangan Rasulullah dari tempat tidurku. Lalu aku mencarinya, dan tanganku menyentuh bagian bawah telapak kaki beliau yang sedang bersujud …[3]

2. Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, beliau berkata:

كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَايَ فِي قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا قَالَتْ وَالْبُيُوتُ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ فِيهَا مَصَابِيحُ

Aku, dulu pernah tidur di depan Rasulullah, dan kedua kakiku di bagian kiblat beliau. Apabila beliau sujud, maka beliau menyentuhku, lalu aku menekuk kedua kakiku. Dan bila beliau bangkit, maka aku luruskan lagi. Waktu itu rumah-rumah tidak ada lampu penerangnya. [4] (dalam riwayat an Nasaa-i disebutkan :

إِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ مَسَّنِي بِرِجْلِهِ

(Apabila beliau ingin witir, maka beliau menyentuhku dengan kakinya).

Demikianlah pendapat yang rajih. Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 7-8/Tahun X/1427/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Syarhul Mumti’, 1/240.
[2]. Jami’u Ahkamin Nisaa’, 1/50.
[3]. HR Muslim, 222 dan Abu Dawud.
[4]. Muttafaqun a’laih.

http://almanhaj.or.id/content/1964/slash/0/membuka-jilbab-di-depan-ahli-kitab-suami-isteri-apakah-termasuk-mahram/