Archives

♣ Berhati-hati & Menjaga Diri


BERHATI-HATI & MENJAGA DIRI

بسم الله الرحمن الرحيم

Sudah maklum kiranya bahwa masa pra nikah adalah masa yang rentan godaan bagi kedua calon pasangan. Apalagi jika keduanya merasa begitu memiliki banyak kesamaan dan mulai ada ketertarikan. Pada masa ini sangat mungkin bersemi benih rasa suka, yang berbunga rindu dan berbuah cinta. Amat mungkin pula terbuka peluang untuk “berpacaran gaya terselubung” ala aktivis dakwah. Mengapa dikatakan terselubung? Karena gaya interaksi semacam ini memang terkamuflasekan oleh suatu dalih. Contohnya: alasan “perhatian kepada saudara atau saudari di jalan Allah” atau malah yang dikemas secara apik dan menarik atas nama dakwah. ”Sayang…sudah hafalan Qur’an belum hari ini? Tadi belajar apa saja? Pematerinya ustadz siapa?” Si pujaan hati pun -misalkan- menimpali, “tadi datang gak ke kajian? Sudah hafalan hadits belum hari ini?”. [Silahkan baca artikel menarik: Pacaran Terselubung Via Hp dan Chatting red].
Wal’iyadzubillah…Semoga kita semua dijauhkan dari hal – hal yang seperti itu. Panggilan atau ungkapan mesra seperti: sayang, cinta, rindu sangatlah tidak beradab jika dilontarkan pada wanita atau pria yang belum dihalalkan bagi kita. Apalagi jika perkataan mesra itu dibalut dengan sajak rayuan cinta yang mengundang nafsu.
Cinta…kau begitu manis terasa
Kau indah nan sempurna
Kau hidupku, kau sayangku, kau pengantinku di surgaNya
Kekasih…kau yang kupuja dan kucinta hingga ajal tiba
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un…
Dari kejadian itu, cukuplah kiranya penulis sampaikan beberapa point yang patut diperhatikan oleh siapapun yang sedang menjalani stase pra nikah,
• Allah Ta’ala berfirman,
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاً
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (Qs. Al-Isra’: 32)
Jenis huruf “la” pada ayat tersebut adalah la An-nahiyyah (لا الناهية) yang berarti “jangan” dan bermakna larangan. Dari ayat ini diambil faidah hukum mengenai haramnya mendekati zina dalam bentuk apapun. Karena pada setiap kata yang berbentuk larangan, terkandung hukum asal: HARAMnya perbuatan tersebut, kecuali ada dalil yang memalingkan dari hukum asalnya yakni haram. Oleh karena itu, salah satu hikmah mengapa Allah berfirman, “Janganlah kamu mendekati zina”, dan bukan langsung berfirman, “Janganlah kamu berzina” adalah adanya cakupan larangan yang menunjukkan haramnya mendekati segala macam sarana yang bisa menghantarkan kepada perbuatan zina -termasuk pacaran sebelum ada ikatan pernikahan-.
..والنهي عن قربانه أبلغ من النهي عن مجرد فعله لأن ذلك يشمل النهي عن جميع مقدماته ودواعيه فإن: ” من حام حول الحمى يوشك أن يقع فيه ” خصوصا هذا الأمر الذي في كثير من النفوس أقوى داع إليه…
“..dan larangan mendekati zina lebih dalam (mengena) maknanya daripada larangan berbuat zina semata, karena larangan mendekati zina mencakup larangan dari segala permulaan dan dari seluruh faktor pendorong perbuatan zina. Barangsiapa yang menggembala (ternaknya) di sekitar pagar daerah terlarang, dikhawatirkan akan terjerumus ke dalamnya. Terlebih dalam perkara zina ini, yang merupakan seruan paling kuat bagi kebanyakan jiwa…” (Tafsir As-Sa’di)
Mendekati zina saja sudah merupakan hal yang haram, apalagi melakukannya. Tidak usah terlalu jauh membayangkan zina hanyalah terbatas pada bersatunya dua genital –maaf-, namun zina di sini meliputi lingkup yang lebih kompleks.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Telah ditetapkan bagi Anak Adam bahwa ia dapat melakukan zina, itu bukanlah suatu hal yang mustahil: Kedua mata zinanya adalah melihat. Kedua telinga zinanya adalah mendengar. Zina lisan adalah ucapan. Zina tangan adalah menyentuh. Zina kaki adalah langkah. Zina hati berkeinginan dan berangan – angan, lalu kemaluanlah yang bisa membenarkan atau mendustakannya.” (HR. Muslim)
• Ada salah satu kaidah fiqhiyyah yang berbunyi : “Man ista’jala syaian qabla awanihi ‘uqiba bi hirmanihi”
مَنْ اسْتَعْجَلَ شَيْءً قَبْلَ أَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ
(Barangsiapa yang tergesa – gesa terhadap sesuatu sebelum waktunya, akan diberi hukuman -berupa- tidak boleh mendapatkannya). Apakah pelaku tidak takut jika Allah merenggut kenikmatan pernikahannya, hanya karena dia tergesa – gesa mencoba kenikmatan semu sesaat untuk berhubungan “gelap” dengan lawan jenis?
Pernikahan adalah ikatan sakral yang suci. Tiada pantas ikatan suci tersebut dinodai oleh “pacaran” pra nikah yang sangat mungkin menyebabkan hilangnya barakah pernikahan, wal’iyadzubillah.
Penuntut ilmu agama hanyalah manusia biasa, yang kadang tergelincir dalam dosa. Mereka bukan makhluk yang terpelihara dari dosa. Untuk itulah perlu adanya komitmen dari kedua belah pihak untuk sama – sama teguh menjaga hati, agar tidak terkontaminasi virus merah jambu sebelum saatnya tiba nanti, Insya Allah. Ikhwan ataupun akhawat mungkin pernah terjerumus sesekali. Ketergelinciran ini tidak lalu mengeluarkan mereka dari jajaran ahlussunnah, sehingga kita bisa dengan semena-mena menghakimi, memandang rendah seolah mereka kriminal agamis terkeji sepanjang masa, plus memberikan serentetan tudingan label bahwa mereka bukan orang yang bertakwa dan lain sebagainya [memangnya kita orang yang paling suci sedunia dan tidak pernah melakukan dosa??].
Orang yang bertakwa bukanlah orang yang tidak pernah melakukan kesalahan, namun orang yang jika melakukan kesalahan segera bertaubat dan kembali pada kebenaran. Statemen “Ikhwan dan akhawat hanyalah manusia biasa, yang terkadang tergelincir dalam dosa. Mereka bukan makhluk yang terpelihara dari dosa…” bukan berarti bentuk pembelaan dan perlindungan subyektif penulis terhadap ketergelinciran mereka, namun di sini penulis sedang mengajak Anda semua untuk lebih bijak dan arif menyikapi kesalahan yang dilakukan oknum “berpacaran terselubung” dari kalangan penuntut ilmu, dalam memberi peringatan dan meluruskan ketergelinciran mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Semua Anak Adam (pasti pernah) melakukan kesalahan. Dan sebaik – baiknya orang yang melakukan kesalahan, adalah orang yang banyak bertaubat.” (HR. Ahmad, dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Shahihul Jami’)
Satu hal yang perlu diingat bahwa calon pasangan belum tentu menjadi pasangan. Masih banyak kemungkinan – kemungkinan yang bisa terjadi di luar batas kuasa makhluk. Sangat mungkin terjadi suatu hal yang akhirnya berakibat putusnya proses antara calon pasangan. Bermula dari intensnya hubungan itu, besar kemungkinan tersisa seonggok luka, secercah asa, sekeping rasa, bahkan sebentuk cinta yang terlanjur bersemayam di jiwa. Maka dari itu, berhati – hatilah agar jangan sampai perasaan cinta begitu mengakar kuat di dalam dada, hingga bisa mengalahkan ilmu dan akal logika, yang bisa berujung pada kondisi “cinta buta”.
Manakala cinta sang pecinta sudah demikian mendalam pada orang yang dicinta, akan sangat susah melupakannya. Pada akhirnya hanya menjadi sebuah dilema bagi sang pecinta yang sedang dimabuk asmara, apakah dia rela memutuskan proses dengan kekasih hatinya atau tidak. Kenapa harus menjadi dilema dalam dirinya? Karena ternyata cintanya berseberangan dengan ilmu dan logika. Dilema cinta itu hanya ada jika kita menimbangnya dengan logika asmara (logika orang yang kasmaran). Akan tetapi, jika kita menimbangnya dengan syari’at dan logika yang sehat, maka tidak akan ada dilema. Apa yang harus terjadi, maka terjadilah. Andaikata proses lebih baik harus berhenti, maka berhentilah. Andaikata proses berlanjut, maka suatu hari nanti adalah hari H…..Insya Allah…..